Selasa, 13 Agustus 2013

Merindukan Pemimpin

Masih ingat siapakah pahlawan-pahlawan wanita yang telah memberikan perjuangannya untuk negara ini?
R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lagi.

Sejak zaman kerajaan Singasari, perempuan yang telah dikenal sebagai manusia yang kuat, berhati lembut, tegas, dan memiliki kecantikan luar biasa. Ken Dedes sebagai perempuan luar biasa yang berada di belakang kejayaan tahta Ken Arok selama menjadi Raja Singasari.





Tetapi,
Mungkinkah ada banyak pergeseran dari masa itu. Telah banyak fenomena perempuan yang justru merasa lebih baik hidup sendiri daripada mendapatkan pimpinan yang keras dari laki-laki.

 
Tidak ada yang membenarkan adanya kekerasan terhadap perempuan. Tetapi bukankah kekerasan terhadap perempuan memang sudah ada sejak zaman para Nabi?





Apa jadinya seorang perempuan yang terlalu mendiri, terlalu lama hidup sendiri, mengembara seorang diri. mencari kekuatan dengan tangannya sendiri, tanpa seorang laki-laki yang mengawasinya dan melindunginya?




Perempuan adalah makhluk yang berhati hangat jika ia memiliki banyak cinta didalam hidupnya.
Karena mereka akan terus berusaha memberikan apa yang terbaik untuk orang-orang yang telah mempercayainya.


Perempuan akan semakin kuat jika ia memiliki lelaki yang menguatkannya, yaitu lelaki yang selalu membutuhkannya, menganggap keberadaannya, dan menjaga kehormatannya.
Perempuan selalu membutuhkan penghargaan dalam hidupnya.
Ketika ia merasa dihargai, ia bahkan akan mampu merubah dan menghilangkan kehidupannya hanya demi orang yang telah membuatnya lebih memiliki arti dalam kehidupannya.





Namun,
Perempuan dapat menjadi makhluk yang dingin.
Mungkin ia sudah tidak dapat lagi merasakan kesakitan atau berusaha untuk tidak mau tahu apapun yang ada di depannya, hingga tidak ada lagi yang bisa memasuki pikiran dan hatinya.
Ibarat es, jika perempuan terlalu lama diabaikan, merasakan hembusan angin dingin seorang diri, hatinya pun akan menjadi beku.





Dimanapun laki-laki pasti akan memilih perempuan yang hangat, berhati lembut, dan penyayang.
Namun bisakah perempuan yang telah terlanjur beku menjadi pilihan untuk dihangatkan dan dikembalikan menjadi cair hingga terbentuk hati yang lembut karena lentur (tidak lagi keras).



Allah telah memberikan pasangan bagi setiap manusia yang lahir ke dunia ini.
Tetapi jauh sebelum mereka dipertemukan, bagaimana jika masing-masing anak manusia tersebut telah mengalami kehidupan yang berbeda.
Andai saja jika manusia tidak begitu mempermasalahkan status sosial, ataupun selalu menilai masa lalu seseorang.



Sebuah pernikahan bukanlah suatu komitmen "aku mencintaimu", tetapi bagaimana masing-masing pasangan mampu membawa nama keluarga dalam sebuah kehormatan.



Lalu bagaimana dengan jodoh yang telah digariskan Allah???
Bagaimana jika mereka bertemu ketika sang perempuan tidak lagi perawan? Atau ketika perempuan sudah pernah menikah dan punya anak? Atau ketika sang perempuan menjadi sebatang kara?



Bukankah Allah telah mengikatkan janji kepada mereka untuk saling menjaga, melindungi, menjadi pasangan tulang rusuk dan tulang punggung.
Tapi bagaimana jika selama mereka belum bertemu, ada banyak ujian yang harus dialami sang perempuan dalam kehidupannya hingga ia harus kehilangan banyak kesempurnaan dalam hidupnya.



Kekuatan perempuan hanya sebatas satu tulang rusuk laki-laki.
Namun jika ia terlalu keras, dingin, dan banyak diasah oleh cobaan kehidupannya dalam kesendiriannya tanpa ada yang mampu melunakkan, mengingatkannya, hingga ia pun perlahan akan bengkok.
Maka ia pun akan menjadi lebih tajam dari sembilu ataupun pedang yang bahkan sanggup mematahkan tulang punggung.



Perempuan adalah bunga, namun apakah hanya ketika ia memberikan aroma wangi saja untuk mendapatkan sebuah penghargaan?

Adakah perempuan suci dan tidak suci?
Adakah perempuan berharga dan murahan?
Adakah perempuan terhormat dan rendahan?



Mungkin itulah yang menjadi makna dimana Allah berfirman pada umat manusia bahwa Ia tidak memandang sehelai bulu apapun yang dibawa oleh manusia melainkan iman.

Renungkan lagi,
"Haruskah ada hak bagi manusia memberikan pandangan yang berbeda-beda hanya karena status sosial dan latar belakang kehidupan seseorang?"



Sebuah Doa dari penulis;

"Allah... sabarkan, tabahkan, dan lapangkanlah hati ini. Jagalah hamba selama beliau (jodoh hamba) tidak ada disamping hamba, jagalah beliau untuk senantiasa menjaga cintanya untuk hamba. Berikanlah masa dimana hamba bisa mengabdi dan melayaninya di dunia hingga tetap terjaga di akhirat kelak. 
Dinginkanlah hati hamba ketika beliau jauh, dan hangatkanlah hanya untu beliau...
Jadikanlah ia pemimpin yang selalu memberikan garis, batas, ruang, dan waktu untuk hamba dan anak-anak hamba, agar kami selalu terjaga di jalan-Mu..."
Amin...



salam,
Penulis yang masih beku

Minggu, 12 Mei 2013

Memory (bag 6)


Deka tiba-tiba meraih pundak Alfa, lalu Alfa menangis di pelukan Deka. Dengan lembut Deka mengelus punggung pria kecil yang sedang menangis menyaksikan ibunya yang bahkan tidak mengenali dirinya sebagai putra ibunya.

“Alfa kangen sama mama ya?”

“mama pasti lupa sama Alfa juga, pa…”

“mama lupa karena dia sedang sakit sekarang, yang penting Alfa gak lupa kan sama mama?”

Alfa mengangguk dan Deka merangkulnya. Deka membawa putranya masuk dan menenangkannya.

Alfa terlelap di pelukan Deka. Deka mengelus rambut putranya dengan kembali mengingat saat-saat Lala yang terbiasa melakukannya pada Alfa sebelum tidur.  Deka juga persis mengingat saat Alfa harus menangis di tengah malam saat demam, Lala bahkan hamir setiap hari terjaga untuk putranya.

Tetapi yang ia lihat kini justru begitu berbeda, Lala yang ia kenal sebagai istri sekaligus ibu dari Alfa, kini telah menjadi orang lain bagi Alfa dan Deka.

Deka tidak bisa berbuat banyak demi kesembuhan Lala ia harus merelakan wanita tersebut berada dalam pelukan Rio, seseorang yang selalu ada dalam kenangan Lala.

Memory (bag 5)


Dokter Irma berjalan ke ruangannya dan disana ia bertemu dengan Sinta yang sedang merapikan beberapa laporan di meja kerja dokter Irma. Sinta tersenyum dan dokter Irma mencoba memulai pembicaraan tentang Lala, karena dokter Irma tahu bahwa perawat muda kepercayaannya itu dekat dengan Deka dan Lala.

“menurut kamu, apakah keputusan saya salah jika membiarkan dokter Rio dekat dengan Lala dan menyarankan dokter Deka untuk menahan diri bertemu dengan Lala?” dokter Irma sambil melepas kacamatanya.

“saya belum bisa menyarankan apapun, dok…” Sinta langsung menjawabnya.

“bukankah kamu sahabat dari mereka? Kamu yang lebih tahu daripada saya, apa yang bisa kamu sarankan kepada saya?” dokter Irma mulai serius menatap wajah Sinta.

“sejak beberapa tahun yang lalu, tepatnya sejak lulus SMA kami sudah tidak lagi dekat, dok… Lala sangat tertutup jangankan pada saya, bahkan pada mertuanya sendiri dia jarang sekali berbagi cerita mengenai masalah hubungannya dengan suaminya. Saya tidak bisa menyalahkan Lala ataupun Deka, karena mereka masih sama-sama sangat muda.” Sinta menjawab dengan menunduk.

Tiba-tiba dokter Irma penasaran dengan kalimat terakhir yang diucapkan Sinta.

“masih sangat muda? Apa menurut kamu dokter Deka sempat memiliki pacar selain Lala?” ekspresi dokter Irma menunjukkan rasa penasaran.

Sinta diam dan ragu-ragu, lalu ia menganggukkan kepala.

“apa Lala dan dokter Deka dulu tidak pernah satu sekolah?” kali ini ekspresi dokter Irma lebih serius.
Sinta mengangguk tanpa berbicara sedikitpun.

Selasa, 07 Mei 2013

Memory (bag 4)



Deka dan Beni berjalan melintasi kamar Lala, Deka tidak melihat Lala disana. Ia tampak cemas dimana istrinya saat ini. Tidak berapa lama Lala datang dengan seorang suster, Deka dan Lala saling bertatapan. Deka sangat dalam menatap mata Lala, namun Lala hanya biasa saja. Karena memang Lala benar-benar tidak mengenal seorang pria yang saat ini berdiri didepannya. Lala menundukkan kepalanya sebagai bentuk salam pada dokter muda didepannya.

“selamat siang, dokter…” sapa Lala dengan senyum.

Deka tidak bisa menahan dirinya, ia ingin memeluk Lala dengan sangat erat. Beni menahan lengan Deka dan menggelengkan kepalanya, dan menarik Deka untuk meninggalkan tempat tersebut. Deka melepaskan tangan Beni dan berjalan menuju ruangan dokter Rio.

“sampai kapan kita harus berakting seperti ini?” Deka masuk ruangan Rio tanpa permisi dan langsung menyerang Rio dengan ucapannya.

Rio saat itu sedang berbicara dengan dokter Irma. Mereka juga saat ini sedang membicarakan tentang keadaan Lala. dokter Irma sebagai dokter yang menangani masalah Lala mulai turut melibatkan diri pada kesalahpahaman Deka terhadap Rio.

Memory (bag 3)



Lala menyaksikan semua yang terjadi saat di ICU. Ia melihat sosok Deka yang berbeda dengan yang pernah ia kenal di sekolah. Deka telah kehilangan ayahnya, Lala melihat sikap Deka yang berusaha menguatkan diri ditengah ketidak berdayaan ibu dan adiknya. Meski Deka sebenarnya tahu bahwa ia sangat tidak sanggup kehilangan ayahnya disaat usia Deka masih belum siap kehiangan. Lala berdiri diam dan seolah merasakan kepedihan dalam hati Deka.

Salah satu suster membantu Deka membawa ibunya ke ICU untuk menyadarkannya. Deka menggendong adiknya, saat itu ia melihat Lala yang berdiri menyaksikan semua itu. Lala menjadi salah tingkah dan berusaha menyembunyikan bekas air matanya. Namun Deka justru berlalu meninggalkan tempat tersebut. Sikap Deka menjadi sangat dingin dan tidak pduli apapun, bahkan Lala juga sempat melihat Deka membentak adiknya yang masih terus saja menangis.

Beberapa hari berlalu, Lala mulai masuk sekolah namun bangku Deka masih tetap kosong. Pada hari berikutnya Deka masih belum masuk sekolah. Tidak banyak anak yang tahu bahwa ayah Deka meninggal, kecuali teman-teman Deka dan Lala.

Pada keesokan harinya Lala melihat bangku Deka masih kosong, sampai pada hampir jam 7, Lala semakin cemas. Seseorang membuka pintu kelas, ternyata Deka masuk sekolah. Lala tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya. Ia tersenyum cerah pada Deka, namun Deka masih tetap dingin. Anak-anak lain yang tidak tahu apa-apa malah mencela Deka yang sok cuek dan dingin. Deka hanya diam hingga ia duduk di bangkunya. Beni menepuk pundak Deka, Lala tidak bisa menghentikan pandangannya pada Deka. Beni malah memelototi Lala, isyarat bahwa Beni tidak suka dengan pandangan Lala terhadap Deka.

Deka sebenarnya menyadari dengan pandangan Lala yang sejak tadi memperhatikannya. Hingga selama jam pelajaran, sangat jelas terlihat bahwa Lala sedikit-sedikit menoleh ke belakang memperhatikan Deka.

Memory (bag 2)


Gina duduk lebih dulu dengan lemas tanpa menunggu Deka dan Alfa yang masih berdiri tegak didepannya. Mata Gina mulai berkaca-kaca dan terlihat bahwa ia tidak kuat lagi menahan rasa sakit hatinya. Ia teringat kembali ucapan Deka yang sejak beberapa hari yang lalu menginginkan berpisah dan meninggalkannya. Gina memalingkan wajahnya karena ia tidak ingn kesedihannya dilihat oleh Alfa.

“haruskah kita berakhir seperti ini?” ucap Gina dengan lirih.

“maafkan kami Gina, tapi semuanya memang harus berjalan sesuai dengan jalan kita masing-masing.” Dimas mengatakan dengan nada datar.

“aku yakin ini semua bukan kemauan kamu kan Deka?” Gina mulai bersuara mengiba pada Deka.

“justru ini adalah keputusan terbaikku, aku lebih memilih keluargaku. Mereka lebih membutuhkanku.” Deka lagi-lagi menjawabnya dengan datar dan dingin.

“jadi kamu akan kembali pada Lala?” kali ini Gina menunjukkan wajahnya yang sudah penuh dengan peluh air mata.

Alfa tiba-tiba membuka tas ranselnya dan mengambil sebuah lembar kertas yang bergambar Deka, Lala, dan Alfa di tengah padang rumput yang hijau dengan sinar matahari cerah dan langit biru. Alfa menyerahkan gambar dari krayon warna tersebut kepada Gina.

“papa, mama, Alfa, kami saling mencintai dan kami akan selamanya bersama… Alfa gak suka tante Gina, tante Gina yang buat mama sakit, tante Gina yang buat mama sedih!!!”

Memory (bag 1)



Seorang perempuan berusia sekitar 23 tahun duduk di kursi roda, disampingnya seorang suster sedang memeriksa dengan sebuah termometer.

“sampai jam berapa saya harus menunggu kak Rio, suster?”
“adek tenang dulu, mungkin sebentar lagi dokter Rio sudah selesai mengoperasi, sebentar lagi dia juga kan datang kesini…”
“makasih ya suster, Lala akan nunggu disini…”

Suster Sinta keluar dari kamar perempuan tersebut. Di depan kamar, ia berpapasan dengan seorang dokter muda yang usianya masih sekitar 23 tahun.

“bagaimana keadaan dia sin?”
“dia masih saja menanyakan dokter Rio. Dia bahkan tidak sedikitpun menyebut nama kamu… maafkan saya Deka, kelihatannya untuk saat ini dia masih belum mengingat kamu samasekali. Saya tidak bisa memaksa dia karena demi kesehatan psikologinya dia…”
“aku ngerti sin… aku akan sabar menunggu sampai dia mengingatku… mungkin sekarang waktunya aku harus menjaganya dan tabah untuknya…”