Minggu, 12 Mei 2013

Memory (bag 5)


Dokter Irma berjalan ke ruangannya dan disana ia bertemu dengan Sinta yang sedang merapikan beberapa laporan di meja kerja dokter Irma. Sinta tersenyum dan dokter Irma mencoba memulai pembicaraan tentang Lala, karena dokter Irma tahu bahwa perawat muda kepercayaannya itu dekat dengan Deka dan Lala.

“menurut kamu, apakah keputusan saya salah jika membiarkan dokter Rio dekat dengan Lala dan menyarankan dokter Deka untuk menahan diri bertemu dengan Lala?” dokter Irma sambil melepas kacamatanya.

“saya belum bisa menyarankan apapun, dok…” Sinta langsung menjawabnya.

“bukankah kamu sahabat dari mereka? Kamu yang lebih tahu daripada saya, apa yang bisa kamu sarankan kepada saya?” dokter Irma mulai serius menatap wajah Sinta.

“sejak beberapa tahun yang lalu, tepatnya sejak lulus SMA kami sudah tidak lagi dekat, dok… Lala sangat tertutup jangankan pada saya, bahkan pada mertuanya sendiri dia jarang sekali berbagi cerita mengenai masalah hubungannya dengan suaminya. Saya tidak bisa menyalahkan Lala ataupun Deka, karena mereka masih sama-sama sangat muda.” Sinta menjawab dengan menunduk.

Tiba-tiba dokter Irma penasaran dengan kalimat terakhir yang diucapkan Sinta.

“masih sangat muda? Apa menurut kamu dokter Deka sempat memiliki pacar selain Lala?” ekspresi dokter Irma menunjukkan rasa penasaran.

Sinta diam dan ragu-ragu, lalu ia menganggukkan kepala.

“apa Lala dan dokter Deka dulu tidak pernah satu sekolah?” kali ini ekspresi dokter Irma lebih serius.
Sinta mengangguk tanpa berbicara sedikitpun.


“dan mungkin kali ini saya akan menebak, bahwa Lala selama beberapa tahun tidak tahu jika suaminya memiliki wanita lain selain dirinya?”

Sinta mengangguk dengan sikap yang sama seperti sebelumnya. Dokter Irma mulai menghela napas panjang dan menyandaran punggungnya di kursi kerjanya lalu memutar kursi tersebuat hingga ia menghadap ke luar jendela. Pandangannya seperti sedang meraba-raba kejadian yang pernah dialami Lala saat beberapa tahun yang lalu. Beberapa kali ia mengerutkan otot dahinya dengan menyipitkan matanya, lalu mengangguk seolah mengerti apa yang pernah terjadi pada perempuan malang yang berusia 23 tahun tersebut.

Beni sedang berada di dalam mobi yang kacanya dibuka setengah, ia merokok di dalam mobi yang acanya setengah erbuka agar tidak diketahui oleh staff Rumah Sakit. Tiba-tiba seseorang masuk mengagetkannya, siapa lagi bukan Deka.

Beni memandang wajah Deka yang lusuh sejak ia keluar dari ruangan Rio tadi. Beni prihatin melihat keadaan sahabatnya itu, namun dia juga bingung tidak tahu apa yang harus dilakukannya.  Beni menyodorkan rokok, tapi Deka menampis tangan Beni dengan pelan. Deka menarik tuas kursi mobil agar sandarannya ke belakang hingga sejajar dengan posisi duduknya, lalu ia merebahkan tubuhnya.

Deka tanpa berbicara sedikitpun. Dia mencoba memaksa memejamkan matanya tapi raut mukanya tidak bisa membohongi Beni yang dari tadi mendampinginya. Deka kemudian menutup matanya dengan lengan kirinya agar matanya tertutup. Sekilas Beni melihat sebuah aliran kecil air mata mengalir perlahan di pipi kanan Deka.

Beni menepuk lutut kanan sahabatnya dan meremas-remas dengan maksud menggodanya. Namun tidak ada respon dari Deka, ia hanya tersenyum kecil menanggapi kenakalan Beni.

“setiap penyakit pasti ada obatnya, bukannya lo slalu bilang gitu? Sekarang kenapa lo gak yakin kalo masalah lo ada jalan keluarnya?” Beni sambil menepuk-nepuk lutut Deka.

“gue ngrasa berdosa banget ben, tapi gue gak sanggup dengan kayak gini karma yang harus gue terima. Bertahun-tahun gue udah menghianti Lala, tapi kenapa baru sekarang gue ngrasa kasian banget dengan dia? Seolah derita dia gak pernah berhenti, dan itu gue yang menyebabkan semua terjadi…” ucap Deka dengan lirih.

Deka tidak bergerak sedikitpun dengan posisi lengan yang masih menutupi matanya, dan sekarang terlihat sudah ada beberapa aliran kecil air mata yang mengalir tidak hanya di pipi kanannya, tapi juga di pipi kirinya.

Di tempat lain Lala berjalan ke ruangan Rio, disana ia tidak bertemu dengan Rio. Lala menggembungkan pipinya dan berjalan ke arah taman Rumah Sakit. Tiba-tiba dari arah belakang seseorang meraih tangannya, ternyata Sinta. Ia terengah-engah karena berlari mencari Lala yang tidak ada dikamarnya.

Lala tersenyum pada Sinta seolah tidak berdosa apapun. Sinta memarahi Lala agar ia tidak berjalan sendirian karena terlalu berbahaya untuknya. Lala hanya bosan sehingga ia ingin mencari udara segar. Dia juga mengatakan bahwa ia ingin menemui Rio. Sinta langsung memasang wajah dingin.

“tidak bisakah kamu berhenti mencari dan menyebut-nyebut nama orang itu? Dokter Rio bukan sahabat kecil yang kamu kenal! Dia adalah orang lain, dia sudah berbeda. Lala, di hati kamu cuma ada Deka dan Alfa, mereka adalah suami dan anak kamu!” Sinta mengatakan dengan keras di depan wajah Lala.

Lala hanya menatap wajah Sinta dengan polos, ia sedikitpun tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata perawat yang ada di depannya itu. Sinta menggenggam bahu Lala dan ia menatap sangat dalam ke mata Lala.

“apa kamu tidak mengingat sedikitpun semua memory yang pernah terjadi tentang Deka ataupun Alfa?”

Lala hanya diam dengan wajah polos seperti anak dua belas tahun umumnya. Sinta mengoyak tubuh Lala dengan sedikit keras.

“pliss Lala… pliss… ini gak lucu! Aku tahu kamu sedang acting kan? Apa kamu lelah? Cerita sama aku kalo kamu emang butuh teman untuk berbagi cerita…” Sinta berteriak seperti orang yang putus asa.

Sinta terduduk di bawah kaki Lala, ia menangis dan mengelus kaki Lala. Wajah polos Lala masih tetap dingin. Ia berjongkok dan merangkul Sinta.

“suster, saya pernah kehilangan sahabat saya saat kelas 3 SD. Kak Rio pergi jauh dan sekarang kak Rio pulang dengan wajah yang berbeda. Tapi saya tetap menyayanginya, karena saat saya mencari papa, mama, kak nita, saya tidak menemukan mereka. Saya tidak tahu dimana mereka, tapi saya melihat kak Rio. Suatu saat saya ingin tinggal bersama kak Rio….” Lala mengucapkannya dengan polos.

Sinta semakin trenyuh melihat keadaan sahabatnya, ia langsung merengkuh tubuh Lala dan memeluknya sangat erat. Ia menangis sejadinya.

“Lala maafin aku… maafin aku… aku tahu semua yang kamu lalui sangat berat, kalo aku tahu akan menjadi seperti ini, harusnya aku katakan dari awal. Pasti dalam hati kamu merasa dikhianati, disakiti, dilecehkan, semuanya… maafin aku Lala, aku bukan sahabat yang baik buat kamu. Aku mohon jangan seperti ini Lala… aku mohon… aku minta maaf…”

Ditengah adegan mengharukan tersebut rupanya ada seseorang yang sedang mengawasi mereka, seseorang bertubuh kecil berada di balik pohon yang berjarak hanya sekitar sepuluh meter dari posisi Lala dan Sinta. Pria kecil tersebut meneteskan air mata sesekali menyekanya dengan lengan kecilnya. Dia ingin mendekati 
Lala tapi pasti Lala tidak mengenalnya.

Deka tiba-tiba meraih pundaknya, lalu ia menangis di pelukan Deka. Dengan lembut Deka mengelus punggung pria kecil yang sedang menangis menyaksikan ibunya yang bahkan tidak mengenali dirinya sebagai putra ibunya.

“Alfa kangen sama mama ya?”

bersambung..

0 komentar:

Posting Komentar

tinggalkan komentar anda disini...