Dokter Irma
berjalan ke ruangannya dan disana ia bertemu dengan Sinta yang sedang merapikan
beberapa laporan di meja kerja dokter Irma. Sinta tersenyum dan dokter Irma mencoba
memulai pembicaraan tentang Lala, karena dokter Irma tahu bahwa perawat muda
kepercayaannya itu dekat dengan Deka dan Lala.
“menurut
kamu, apakah keputusan saya salah jika membiarkan dokter Rio dekat dengan Lala
dan menyarankan dokter Deka untuk menahan diri bertemu dengan Lala?” dokter
Irma sambil melepas kacamatanya.
“saya belum
bisa menyarankan apapun, dok…” Sinta langsung menjawabnya.
“bukankah
kamu sahabat dari mereka? Kamu yang lebih tahu daripada saya, apa yang bisa
kamu sarankan kepada saya?” dokter Irma mulai serius menatap wajah Sinta.
“sejak
beberapa tahun yang lalu, tepatnya sejak lulus SMA kami sudah tidak lagi dekat,
dok… Lala sangat tertutup jangankan pada saya, bahkan pada mertuanya sendiri
dia jarang sekali berbagi cerita mengenai masalah hubungannya dengan suaminya.
Saya tidak bisa menyalahkan Lala ataupun Deka, karena mereka masih sama-sama
sangat muda.” Sinta menjawab dengan menunduk.
Tiba-tiba
dokter Irma penasaran dengan kalimat terakhir yang diucapkan Sinta.
“masih sangat
muda? Apa menurut kamu dokter Deka sempat memiliki pacar selain Lala?” ekspresi
dokter Irma menunjukkan rasa penasaran.
Sinta diam
dan ragu-ragu, lalu ia menganggukkan kepala.
“apa Lala dan
dokter Deka dulu tidak pernah satu sekolah?” kali ini ekspresi dokter Irma
lebih serius.
Sinta
mengangguk tanpa berbicara sedikitpun.
“dan mungkin
kali ini saya akan menebak, bahwa Lala selama beberapa tahun tidak tahu jika
suaminya memiliki wanita lain selain dirinya?”
Sinta
mengangguk dengan sikap yang sama seperti sebelumnya. Dokter Irma mulai
menghela napas panjang dan menyandaran punggungnya di kursi kerjanya lalu
memutar kursi tersebuat hingga ia menghadap ke luar jendela. Pandangannya
seperti sedang meraba-raba kejadian yang pernah dialami Lala saat beberapa
tahun yang lalu. Beberapa kali ia mengerutkan otot dahinya dengan menyipitkan
matanya, lalu mengangguk seolah mengerti apa yang pernah terjadi pada perempuan
malang yang berusia 23 tahun tersebut.
Beni sedang
berada di dalam mobi yang kacanya dibuka setengah, ia merokok di dalam mobi
yang acanya setengah erbuka agar tidak diketahui oleh staff Rumah Sakit. Tiba-tiba
seseorang masuk mengagetkannya, siapa lagi bukan Deka.
Beni
memandang wajah Deka yang lusuh sejak ia keluar dari ruangan Rio tadi. Beni
prihatin melihat keadaan sahabatnya itu, namun dia juga bingung tidak tahu apa
yang harus dilakukannya. Beni menyodorkan
rokok, tapi Deka menampis tangan Beni dengan pelan. Deka menarik tuas kursi
mobil agar sandarannya ke belakang hingga sejajar dengan posisi duduknya, lalu
ia merebahkan tubuhnya.
Deka tanpa
berbicara sedikitpun. Dia mencoba memaksa memejamkan matanya tapi raut mukanya
tidak bisa membohongi Beni yang dari tadi mendampinginya. Deka kemudian menutup
matanya dengan lengan kirinya agar matanya tertutup. Sekilas Beni melihat
sebuah aliran kecil air mata mengalir perlahan di pipi kanan Deka.
Beni menepuk
lutut kanan sahabatnya dan meremas-remas dengan maksud menggodanya. Namun tidak
ada respon dari Deka, ia hanya tersenyum kecil menanggapi kenakalan Beni.
“setiap
penyakit pasti ada obatnya, bukannya lo slalu bilang gitu? Sekarang kenapa lo
gak yakin kalo masalah lo ada jalan keluarnya?” Beni sambil menepuk-nepuk lutut
Deka.
“gue ngrasa
berdosa banget ben, tapi gue gak sanggup dengan kayak gini karma yang harus gue
terima. Bertahun-tahun gue udah menghianti Lala, tapi kenapa baru sekarang gue
ngrasa kasian banget dengan dia? Seolah derita dia gak pernah berhenti, dan itu
gue yang menyebabkan semua terjadi…” ucap Deka dengan lirih.
Deka tidak
bergerak sedikitpun dengan posisi lengan yang masih menutupi matanya, dan
sekarang terlihat sudah ada beberapa aliran kecil air mata yang mengalir tidak
hanya di pipi kanannya, tapi juga di pipi kirinya.
Di tempat
lain Lala berjalan ke ruangan Rio, disana ia tidak bertemu dengan Rio. Lala
menggembungkan pipinya dan berjalan ke arah taman Rumah Sakit. Tiba-tiba dari
arah belakang seseorang meraih tangannya, ternyata Sinta. Ia terengah-engah
karena berlari mencari Lala yang tidak ada dikamarnya.
Lala
tersenyum pada Sinta seolah tidak berdosa apapun. Sinta memarahi Lala agar ia
tidak berjalan sendirian karena terlalu berbahaya untuknya. Lala hanya bosan
sehingga ia ingin mencari udara segar. Dia juga mengatakan bahwa ia ingin
menemui Rio. Sinta langsung memasang wajah dingin.
“tidak
bisakah kamu berhenti mencari dan menyebut-nyebut nama orang itu? Dokter Rio
bukan sahabat kecil yang kamu kenal! Dia adalah orang lain, dia sudah berbeda.
Lala, di hati kamu cuma ada Deka dan Alfa, mereka adalah suami dan anak kamu!”
Sinta mengatakan dengan keras di depan wajah Lala.
Lala hanya
menatap wajah Sinta dengan polos, ia sedikitpun tidak mengerti apa yang dimaksud
dengan kata-kata perawat yang ada di depannya itu. Sinta menggenggam bahu Lala
dan ia menatap sangat dalam ke mata Lala.
“apa kamu
tidak mengingat sedikitpun semua memory yang pernah terjadi tentang Deka
ataupun Alfa?”
Lala hanya
diam dengan wajah polos seperti anak dua belas tahun umumnya. Sinta mengoyak
tubuh Lala dengan sedikit keras.
“pliss Lala…
pliss… ini gak lucu! Aku tahu kamu sedang acting kan? Apa kamu lelah? Cerita
sama aku kalo kamu emang butuh teman untuk berbagi cerita…” Sinta berteriak
seperti orang yang putus asa.
Sinta
terduduk di bawah kaki Lala, ia menangis dan mengelus kaki Lala. Wajah polos
Lala masih tetap dingin. Ia berjongkok dan merangkul Sinta.
“suster, saya
pernah kehilangan sahabat saya saat kelas 3 SD. Kak Rio pergi jauh dan sekarang
kak Rio pulang dengan wajah yang berbeda. Tapi saya tetap menyayanginya, karena
saat saya mencari papa, mama, kak nita, saya tidak menemukan mereka. Saya tidak
tahu dimana mereka, tapi saya melihat kak Rio. Suatu saat saya ingin tinggal
bersama kak Rio….” Lala mengucapkannya dengan polos.
Sinta semakin
trenyuh melihat keadaan sahabatnya, ia langsung merengkuh tubuh Lala dan
memeluknya sangat erat. Ia menangis sejadinya.
“Lala maafin
aku… maafin aku… aku tahu semua yang kamu lalui sangat berat, kalo aku tahu
akan menjadi seperti ini, harusnya aku katakan dari awal. Pasti dalam hati kamu
merasa dikhianati, disakiti, dilecehkan, semuanya… maafin aku Lala, aku bukan
sahabat yang baik buat kamu. Aku mohon jangan seperti ini Lala… aku mohon… aku
minta maaf…”
Ditengah adegan
mengharukan tersebut rupanya ada seseorang yang sedang mengawasi mereka,
seseorang bertubuh kecil berada di balik pohon yang berjarak hanya sekitar
sepuluh meter dari posisi Lala dan Sinta. Pria kecil tersebut meneteskan air
mata sesekali menyekanya dengan lengan kecilnya. Dia ingin mendekati
Lala tapi
pasti Lala tidak mengenalnya.
Deka
tiba-tiba meraih pundaknya, lalu ia menangis di pelukan Deka. Dengan lembut
Deka mengelus punggung pria kecil yang sedang menangis menyaksikan ibunya yang
bahkan tidak mengenali dirinya sebagai putra ibunya.
“Alfa kangen
sama mama ya?”
bersambung..
0 komentar:
Posting Komentar
tinggalkan komentar anda disini...